About this blog

Regulasi Emosi Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak CIBI


         Orangtua adalah pihak yang ikut merasakan keunikan setiap anak, oleh karena itu orangtua
masa kini mau tidak mau harus turut terlibat secara aktif dalam sistem pengasuhan anak, termasuk
apabila anaknya dikategorikan cerdas istimewa. Begitu seorang anak terdeteksi sebagai seorang
anak yang mengalami lompatan perkembangan kognitif (cerdas istimewa), para orangtua adalah
pihak pertama yang harus memahami berbagai keunikan anak tersebut. Hal ini disebabkan anakanak
cerdas istimewa bukanlah sebagai populasi yang homogen, sehingga pengasuhan harus
terus berjalan secara berkesinambungan hingga anak mampu mandiri dan berfungsi dengan baik
di tengah masyarakat.
         Kesulitan pengasuhan yang paling dirasakan orangtua anak cerdas istimewa adalah anakanakini terlalu banyak bergerak sehingga terkesan hiperaktif dan konsentrasinya terganggu,
keras kepala, banyak kemauannya, selalu membantah, mempertanyakan peraturan, sulit diajari,
hanya mau mengerjakan sesuatu atas dasar dorongan motivasi internalnya, terlalu ekstrovert
atau introvert, perfeksionis, memunculkan masalah perilaku dan masalah sosial emosional sehinnga
banyak orangtua yang terkadang lepas kontrol. Bentrok antar orangtua dan anak sering kali
terjadi yang dapat menyebabkan gagalnya pengasuhan, pendidikan, dan pembentukan karakter
anak. 
          Dampak lainnya adalah jatuhnya harga diri anak, merosotnya konsep diri, perilaku agresif,
atau masuknya anak ke dalam tingkat depresi yang membutuhkan pertolongan profesional.
Masalah sosial emosional anak-anak cerdas istimewa ini telah banyak dibahas oleh para
ahli misalnya oleh Silverman (Baum, dkk, 2004). Orangtua memiliki peran penting dalam menangani
anak cerdas istimewa. Orangtua diharapkan mampu mengorganisir kebutuhan dan tuntutan dari
anak cerdas istimewa, hal yang seringkali menimbulkan tantangan tersendiri karena anak cerdas
istimewa terlalu banyak menuntut dan sulit berkonsentrasi. Stres yang dirasakan orangtua
bersumber dari banyaknya tuntutan yang terkadang tidak mampu dipenuhi sehingga terkadang
memancing emosi orangtua. Sebagian anak cerdas istimewa juga bermasalah secara akademik
seperti underachiever karena anak subjek lebih banyak bermain. 
Hal-hal seperti itulah yang terkadang membuat subjek mengalami emosi negatif hingga mencapai keadaan marah yang meluap.
          Dalam kondisi-kondisi seperti itulah dibutuhkan strategi–strategi dalam meregulasi emosi.
Thompson (Kostiuk dan Gregory, 2002) menggambarkan regulasi emosi sebagai
kemampuan merespon proses–proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi,
dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini
berarti apabila seseorang mampu mengelola emosi–emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki
daya tahan yang baik dalam menghadapi masalah.
Lazarus (1975) mengatakan bahwa regulasi emosi merupakan pengontrolan perilaku baik
yang tampak dalam kaitanya dengan emosi. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk dapat
Nurhera 190
mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah
sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat.
Pengekspresian yang tepat menurut Reivich dan Statte (2002) merupakan salah satu kemampuan
individu yang resilien yaitu individu yang mampu bersikap tenang meskipun dihadapkan dengan
berbagai tekanan.
Kata emosi berasal dari kata kerja bahasa latin yang berakar dari kata “movere” yang
memiliki arti menggerakkan atau bergerak. Penambahan awalan “e” agar memberi arti bergerak
menjauh, yang menyiratkan bertindak atau melakukan sesuatu hal yang mutlak dalam emosi.
Emosi lebih merujuk keadaan biologis dan psikologis yang memliki perasaan dan pikiran–pikiran
yang mendorong kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 1996).
Thompson (Kostiuk dan Gregory, 2002) menggambarkan regulasi emosi sebagai
kemampuan merespon proses–proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi,
dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Ini berarti
apabila seseorang mampu mengelola emosi–emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki
daya tahan yang baik dalam menghadapi masalah.
Gross (2007) menjelaskan aspek–aspek regulasi emosi sebagai berikut : (1) dapat mengatur
emosi dengan baik yaitu emosi positif maupun emosi negatif; (2) dapat mengendalikan emosi
sadar, mudah, dan otomatis; dan (3) dapat menguasai situasi stres yang menekan akibat dari
masalah yang sedang dihadapinya.
Menurut Gross dan Thompson (2007) ada lima proses dalam regulasi emosi yaitu: (1)
seleksi situasi yaitu individu mendekati atau menghindari orang, tempat, atau objek; (2) modifikasi
situasi yang bertujuan untuk mengubah situasi sehingga mengubah dampak emosionalnya, sama
dengan problem-focused coping; (3) penyebaran perhatian; (3) perubahan kognitif, yaitu
perubahan penilaian termasuk disini pertahanan psikologis dan pembuatan pembandingan sosial,
pada umumnya merupakan transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi;
serta (5) respon modulasi, yang bertujuan untuk mempengaruhi fisiologis, pengalaman, atau
perilaku aspek dari respon emosional.
Menurut Gross dan John (2003) ada dua bentuk dalam strategi regulasi emosi. Pertama,
awal tindakan (antecedence focused emotion regulation atau reappraisal). Regulasi awal
terdiri dari perubahan berpikir tentang situasi untuk menurunkan dampak emosional. Regulasi
awal dianggap lebih efektif daripada regulasi akhir karena regulasi awal mengurangi pengalaman
dan perilaku pengungkapan emosi yang tidak mempunyai dampak pada memori. Kedua, regulasi
yang terjadi pada akhir tindakan (response focused emotion regulation atau suppresion).
Regulasi akhir menghambat keluarnya tanda-tanda emosi. Regulasi akhir mengurangi
pengungkapan perilaku, gagal dalam mengurangi pengalaman emosi, mempengaruhi memori dan
menaikkan respon fisiologis antara orang yang bersangkutan dengan lingkungan sosialnya.
Individu yang terbiasa menggunakan strategi reappraissal akan mengalami (experience)
dan lebih sedikit mengekspresikan emosi positif dan emosi negatif, memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan orang lain dan memiliki tingkat kebahagiaan (personal well being) yang tinggi.
Sebaliknya individu yang menggunakan strategi suppression akan lebih sedikit mengekspresikan
emosi negatif dalam bentuk perilaku daripada mengalami tingkat emosi negatif yang lebih besar
dan memiliki hubungan yang kurang dekat secara emosional serta memiliki tingkat kebahagiaan
yang lebih rendah (Gross dan John, 2003).
Istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa sering dipadankan dengan istilah gifted atau
berbakat. Sebutan lain bagi anak cerdas istimewa ini antara lain genius, bright, dan talented.
Nurhera 191
Semua sebutan ini menurut Soemantri (2006) merujuk kepada adanya keunggulan kemampuan
yang dimiliki seseorang. Satu ciri yang paling umum diterima sebagai ciri anak berbakat ialah
memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari anak normal, sebagaimana diukur oleh alat ukur
kecerdasan (IQ) yang sudah baku. Pada mulanya memang tingkat kecerdasan (IQ) dipandang
sebagai satu-satunya ukuran anak berbakat. Pandangan ini disebut pandangan berdimensi tunggal
tentang anak berbakat.
Adapun Renzuli (Hawadi, 2002) merumuskan konsep pemikiran bahwa keberbakatan itu
terbentuk dari hasil interaksi tiga kluster aspek penting, yaitu: kecakapan di atas rata-rata, komitmen
tugas yang tinggi, dan kreativitas. Pikiran ini tampak memadukan semua dimensi keberbakatan
yang dibicarakan di atas, yakni: kecakapan intelektual, prestasi akademis, kreativitas dan bakat,
serta aspek sosial.
Pengukuran cerdas istimewa merupakan sesuatu yang rumit, dengan dasar penentuan adalah
pada hasil skor tes dan kemudian dilakukan interpretasi. Tujuan melakukan identifikasi adalah
dapat mengetahui lebih awal potensi yang dimiliki dan membuat hal tersebut unik dan bisa
bermanfaat untuk komunitas. Namun selain itu tes yang digunakan untuk mengukur kecerdasan
istimewa di antaranya adalah Slosson Full-Range Intelligence Test (S-FRIT), WISC dan Tes
Binet. Tes S-FRIT ada sejumlah aspek kemampuan mental individu yang dapat diukur. S-FRIT
mampu secara tegas menyaring dan memisahkan kemampuan Verbal dari kemampuan Non Verbal
bahkan ketika kemampuan berbahasa yang dimiliki individu terbatas. S-FRIT memberikan suatu
perangkat pengukuran yang lebih cepat namun mampu menyediakan informasi yang lebih luas
daripada tes-tes singkat inteligensi lainnya yang beredar (Slosson, 2006). Tujuan S-FRIT
dimaksudkan sebagai pelengkap atau instrumen tambahan (supplement) bagi instrumen tes
inteligensi lainnya yang lebih lama (waktu pengadministrasiannya) seperti : WISC-III, WISC-IV,
K-ABC, atau the Stanford-Binet IV dan V. S-FRIT dikembangkan dengan mengacu kepada
teori CHC (Cattel-Horn-Carrol), yaitu teori inteligensi dengan model tiga strata hirarki kemampuan
kognitif manusia. Teori ini merupakan teori paling mutakhir dan paling diterima oleh kalangan
ahli-ahli psikologi kontemporer.
Tes Binet berasal dari ahli psikologi Prancis ialah Alfred Binet. Awal dari tes Binet adalah
ketika Alfred Binet mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mendeteksi anak–anak yang
kecerdasanya terbelakang, Binet berasumsi bahwa kecerdasan sebaiknya diukur dengan tugastugas
yang menggunakan penqalaran dan pemecahan masalah, bukan menggunakan kemampuan
atau keterampilan motorik (Sukadji, 1981).
Skala Inteligensi Wechsler untuk anak-anak timbul secara logis dari skala inteligensi
Wehsler Bellevue untuk pemuda dan orang dewasa. Sebenarnya sebagian besar dari aitemaitem
skala WISC ini berasal dari bentuk II, skala-skala sebenarnya, dimana tambahantambahanya
menjadi aitem baru yang lebih mudah (Wechsler, 1993).

dikutip dari : N Nurhera - EMPATHY Jurnal Fakultas Psikologi, 2013 - journal.uad.ac.id

0 comments:

Post a Comment

Anda Pengunjung Ke

Powered by Blogger.

Followers

Visitors